Nama : Nurilita Wiguna
Kelas : 2EA28
NPM : 15212500
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan #
Dosen : M. Ali, S.H.I, M.Ag.
Kelas : 2EA28
NPM : 15212500
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan #
Dosen : M. Ali, S.H.I, M.Ag.
VIRUS – VIRUS
DEMOKRASI
I.
PENDAHULUAN
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa setiap Negara pasti memiliki demokrasi
tersendiri, termasuk Indonesia yang dikenal menganut Demokrasi Pancasila. Bisa
dibilang Indonesia adalah satu – satunya Negara di dunia yang menganut
demokrasi Pancasila. Namun bukan berarti demokrasi dapat berjalan dengan mulus
tanpa hambatan di setiap Negara. Pasti ada saja faktor – faktor yang dapat
mengganggu berjalannya demokrasi. Berikut ini saya akan mencoba membahas faktor
– faktor apa saja yang dapat mencederai demokrasi atau bisa disebut dengan
Virus –Virus Demokrasi.
II.
PEMBAHASAN
Terdapat
5 virus demokrasi, diantaranya Banalitas politik, Politik Pencitraan, Narsisme
Demokrasi, Intimidasi Suara, dan Politik Transaksional.
a.
Banalitas Politik
Banalitas
politik (Banality of Politics)
merupakan salah satu kejahatan politik seseorang atau kelompok yang
menghalalkan segala cara untuk memenangkan suatu posisi atau perkara. Banalitas
politik juga bisa dibilang dengan ‘berpikiran yang dangkal’.
Banalitas politik yang diciptakan para politikus di Negara kita telah menciptakan ruang – ruang publik politik
yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal dan populer,
yang tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Berbagai keputusan
politik (pilihan politik, kebijakan politik, strategi
politik) sangat dibentuk oleh sifat populerisme, sehingga menggiring ke arah
‘pengkerdilan politik’, yang kini menggantungkan hidupnya pada citra permukaan
dan populerisme tokoh, kader atau partai politik.
Kasus-kasus hukum seperti korupsi, pencucian uang dan suap
yang membawa beberapa politikus yang ditampilkan di berbagai media massa menunjukkan para politikus tidak mampu
menjalankan politik bernilai tinggi dan bermartabat. Anehnya, mereka rajin membuat politik yang remeh tersebut.
Politik dinasti yang dinilai banyak kalangan telah mencederai
prinsip demokrasi atau fenomena keterlibatan calon legislatif (caleg) dari
kalangan artis yang kemampuan politiknya meragukan juga bisa dikatakan
manisfestasi keremeh-temehan politik. Di sinilah bisa disaksikan pemimpin –
pemimpin partai politik gagal menciptakan kader – kader berkualitas tinggi dari
internal partai. Di sini pulalah bisa dilihat betapa popularitas artis
dijadikan ‘mantra politik’ untuk mendulang suara rakyat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak praktik politik yang dijalankan politikus – politikus di negeri ini berlumuran intrik dan tipu daya. Sudah menjadi pengetahuan rakyat bahwa pemimpin partai politik sebagai “orang tua” seringkali melindungi sebagian kadernya yang terlibat kasus hukum, misalnya korupsi.
Semua banalitas politik tersebut jelas berpotensi besar merusak tataanan kebangsaan dan kenegaraan. “Politik biasa – biasa saja” sangat mungkin menyebabkan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, mengalami krisis kepercayaan dari rakyat. Masyarakat pun menganggap politik sebagai aktivitas tipu daya, berbohong atau curang. Kalau sudah begini keadaanya, kehancuran bangsalah yang akan terjadi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak praktik politik yang dijalankan politikus – politikus di negeri ini berlumuran intrik dan tipu daya. Sudah menjadi pengetahuan rakyat bahwa pemimpin partai politik sebagai “orang tua” seringkali melindungi sebagian kadernya yang terlibat kasus hukum, misalnya korupsi.
Semua banalitas politik tersebut jelas berpotensi besar merusak tataanan kebangsaan dan kenegaraan. “Politik biasa – biasa saja” sangat mungkin menyebabkan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, mengalami krisis kepercayaan dari rakyat. Masyarakat pun menganggap politik sebagai aktivitas tipu daya, berbohong atau curang. Kalau sudah begini keadaanya, kehancuran bangsalah yang akan terjadi.
Oleh karena itu, menjunjung tinggi moralitas dalam berpolitik
tak bisa ditawar-tawar lagi. Menjamah kemerdekaan iman dan akal sehat dalam
berpolitik harus dihindari sejauh mungkin. Citra buruk politik akibat perilaku
tak bermoral politikus harus disegera dibenahi. Partai politik sebagai salah
satu pilar negara demokrasi juga harus ikut mendukung penuh penghadiran
nilai-nilai moral dalam menjalankan mesin-mesin politiknya.
Adalah suatu kewajiban bagi seorang politikus untuk tidak
menciptakan ketegangan antara moralitas dan politik. Anggapan sebagian besar
masyarakat bahwa politikus memiliki integritas moral yang rendah dan sering
melakukan hal – hal buruk, termasuk berbohong, korupsi, suap, dan sebagainya,
perlu menjadi perhatian utama elite – elite politik.
Ini mengandung makna bahwa para politikus harus benar – benar
menjalankan tujuan, yaitu sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat dan
menggapai kebaikan bersama. Jangan sampai politik terus – menerus mendapat
citra buruk dari masyarkat karena kelakuan politikus yang tidak beradab dan
banal.
b.
Politik Pencitraan
Politik pencitraan (Politics
of Image) meupakan taktik politik dimana seseorang atau kelompok menganggap
dirinya sangat baik dan lebih baik daripada orang lain, padahal sebenarnya bisa
saja seseorang tersebut tidak baik dan malah
lebih buruk daripada orang lain.
Teknik ‘pemasaran politik’ dengan mengemas citra tentang
sosok calon kepala daerah atau calon legislatif dalam praktek politik citraan, menempatkan
media massa sebagai pemegang kendali utama pemberitaan, karena salah satu
kekuatan media yang sangat diperhitungkan adalah kekuatan menciptakan opini
publik. Lewat surat kabar misalnya, menawarkan definisi – definisi tertentu
mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan, siapa penjahat; apa yang baik dan
apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk
dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi
membela kebenaran dan keadilan); isu apa yang relevan dan tidak (Eriyanto,
analisis Framing: X).
Narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.
Narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.
Dalam dunia pencitraan, citra dan realitas menjadi dua kutub
yang terus tarik menarik. Citra telah berubah menjadi sebuah mesin politis yang
bergerak kian cepat. Strategi pencitraan dan
teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi
persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat
digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.
Citra politik dan simulakra politik akan menjadi kekuatan
utama”dalam mengendalikan wacana politik sehingga di dalamnya kini tidak hanya
ada kekuatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi menjelmanya kekuatan citra sebagai
kekuatan politik. Dalam simulakra politik, segala potensi tanda, citra, dan
tontonan, segala kekuatan bahasa, dan kekuatan simbol dikerahkan dalam rangka
membangun citra, membentuk opini publik, mengubah persepsi, mengendalikan
kesadaran massa, dan mengarahkan preferensi politik meski semuanya tak lebih
dari iring-iringan simulakra belaka.
Pergeseran praktik politik pencitraan dari upaya
mempromosikan figur yang berkualitas kepada usaha merebut kekuasaan menimbulkan
dampak etis yang dapat merugikan publik sendiri. Pertama, praktik semacam itu
mengaburkan esensi politik, bahwa politik adalah panggilan, bahwa hanya orang –
orang yang berkualitas secara manajerial dan etislah yang pantas memimpin
republik ini. Kedua, kita melanggengkan hasrat primordial manusia untuk
berkuasa dengan memanfaatkan segala cara demi merebut kekuasaan tersebut.
Akibatnya, kita akan memiliki pemimpin yang terus bersolek dan hanya
memperhatikan penampilannya saat jutaan masyarakat menderita kemiskinan dan
ketidakadilan. Ketiga, kelaziman mengamini penampilan sebagai yang seolah – olah
merepresentasikan kenyataan objektif sang pemimpin hanya akan menumpulkan
kesadaran kritis kita untuk mengambil jarak demi melawan praktik – praktik
kekuasaan yang korup dan tidak manusiawi.
c.
Narsisme Demokrasi
Narsisme merupakan sifat manusia yang cenderung mengagumi
diri sendiri secara berlebihan. Bagi mereka dengan karakter narsisme, memiliki
rasa percaya diri yang luar biasa. Individu yang
berkarakter narsisme memang selalu senang pada sesuatu yang berbau sanjungan
dan pujian, mereka sangat independen dan sulit didekati. Mereka juga sangat
terpacu oleh kekuasaan dan kesuksesan. Tetapi pribadi narsisisme adalah pribadi
yang penuh ambisi dan visi.
Biasanya pribadi narsisme sulit menerima kritik dan tidak
memiliki empathy terhadap orang lain serta bukan pendengar yang baik. Mereka
juga cenderung membuat keputusan tanpa mempedulikan orang lain dan memaksa
orang lain untuk mendengarkan ceritanya tanpa mau mendengar cerita orang lain.
Mereka juga sulit berbagi dengan orang lain dan meminta orang lain untuk
mengikuti jadwalnya.
Karena memang perilaku individu narsisme selalu terpusat pada diri sendiri (self centered). Ia merasa dialah yang superior, paling mampu, paling pandai, paling penting dan paling segalanya. Mereka akan sangat puas jika semua orang mengakui kehebatannya.
Karena memang perilaku individu narsisme selalu terpusat pada diri sendiri (self centered). Ia merasa dialah yang superior, paling mampu, paling pandai, paling penting dan paling segalanya. Mereka akan sangat puas jika semua orang mengakui kehebatannya.
Demokrasi kini menjadi ‘demokrasi narsisistik’ (narcissistic democracy), yang di
dalamnya para wakil rakyat disibukkan mengatur penampilan dan citra diri di
depan publik dibandingkan mengasah nalar memikirkan rakyat.
Sebagaimana dikatakan Christopher Lach di dalam The Culture
of Narcissism (1979), para narsis politik membangun kemuliaan diri melalui
selebriti, polularitas, dan karisma diri untuk memperoleh sanjungan atau pujaan
pemirsa, bukan dari kekuatan pikiran, pengetahuan, dan kompetensi.
Akibat sifat narsis ini, berbagai
tindakan, keputusan, dan strategi politik pun sangat dibentuk oleh sifat popularitas
yang menggiring ke arah pendangkalan politik. Tokoh atau kader partai politik
menggantungkan hidupnya pada citra permukaan. Hal-hal yang bersifat subtansial
(ide, gagasan, perjuangan, pengorbanan, dan sebagainya) dilibas oleh sesuatu
yang bersifat sensasional (iklan politik, gambar, foto, baliho, dan
sejenisnya). Sifat narsis akan semakin terlihat manakala kita menyaksikan
pemimpin partai politik melirik para artis yang memiliki popularitas kaliber
nasional di mata masyarakat untuk dijadikan sebagai kader partai atau calon legislatif.
Akibat lanjutan dari narsisme
politik adalah “keseketikaan politik” yang hanya merayakan citra instan dan
efek segera, tetapi tidak menghargai proses politik berkualitas dan bermakna.
Aneka citra politik, misalnya jujur, cerdas, bersih, islamis, nasionalis, atau
nasionalis-religius adalah citra yang seharusnya dibangun secara alami melalui
akumulasi karya, pemikiran, tindakan, ide, dan prestasi politik. Namun,
mentalitas “menerabas” telah mendorong tokoh politik menjadi miskin prestasi
dan mengambil jalan pintas dengan memanipulasi citra instan. Inilah
dampak negatif ketika partai politik dan politisinya sudah mengedepankan
narsisme politik. Kader partai mengeluarkan aneka trik, bujuk rayu, persuasi,
dan retorika komunikasi politik yang bertujuan meyakinkan rakyat bahwa citra
yang ditampilkan adalah kebenaran.
Sekali lagi, narsisme politik, yang
memiliki kecenderungan pemujaan diri secara berlebihan, tidak akan membawa
tatanan politik yang luhur. Politik narsis hanya akan menciptakan kader partai
berlagak dekat dengan petani, pembela wong cilik, akrab dengan pedagang pasar,
karib dengan pemuka agama, penjaga kesatuan bangsa, pemberantas praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan perilaku “seolah-olah” lainnya.
Namun, semua itu hanya ilusi, palsu, dan bohong belaka.
d.
Intimidasi
Suara
Intimidasi merupaka tindakan
menakut – nakuti atau memaksa dengan kekuatan dalam hubungan antara orang, antara kelompok, atau antara orang dan kelompok,
dengan tujuan agar pihak yang ditakut – takuti atau dipaksa mau melakukan
perbuatan yang diinginkan. Tindakan menakut-nakuti ini dapat berben-tuk ancaman
fisik atau nonfisik. Dalam politik, bentuk ancamannya berupa non fisik,
misalnya penyebaran isu yang menakutkan atau menimbulkan kekhawatiran.
Intimidasi suara itu pasti dikaitkan dengan perolehan hasil
pemilu. Para partai penguasa menekan dengan kekuasaannya agar kader – kader dan
partainya dapat memenangkan pemilu, baik pileg maupun pilpres.
e.
Politik Transaksional
Politik
transaksional merupakan jual – beli politik. Dalam
praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada
dasarnya politik adalah kompromi, sharing
kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah
pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia.
Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau
sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan ornag
lain.
Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi – transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.
Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi – transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.
Namun ketika pembagian kekuasaan itu
tidak dilakukan, maka transaksi politik bisa diwujudkan dalam hal lain.
Misalnya kompensasi dalam bentuk uang. Inilah yang kadang disebut sebagai
politik transaksional. Padahal pengertian sebenarnya, politik transaksional
adalah pembagian kekuasaan politik berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik
yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik.
Bahwa dalam transaksi politik
menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul
uang pengganti. Dalam arti, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi
politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka uang yang digunakan itu
merupakan bagian dari politik transaksi. Hal itu tidak bisa dihindari. Namun
jika uang itu hanya digunakan untuk segelintir orang, hanya sekedar untuk
mencapai syarat pencalonan saja. Seperti dalam Pilkada-Pilkada terdahulu,
sangat kental dengan istilah politik transaksional, yang hanya sekedar alat untuk
kepentingannya sendiri.
III.
PENUTUPAN
Dari kelima
faktor diatas, sudah sangat jelas bahwa praktik – praktik tersebut tidak boleh
dijalankan, malah ada juga yang bisa dipidanakan. Banalitas politik, Intimidasi
Suara, dan Politik Transaksional merupakan sebuah kejahatan dan sudah dapat
dipidanakan sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku. Sedangkan untuk Politik
Pencitraan dan Narsisme politik belum bisa dikatakan sudah masuk ke ranah hukum
Indonesia.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
· Harian
haluan. (2011, 13 Juli). Banalitas Para Politikus. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://harianhaluan.com/index.php/refleksi/6708-banalitas-politik-para-politikus
· AcehTribun
News. (2013, 18 Juni). Banalitas di Era Reformasi. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://aceh.tribunnews.com/2013/06/18/banalitas-politik-di-era-reformasi
· Wordpress.
(2014, 19 Januari). Bahaya Politik Pencitraan. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://jeremiasjena.wordpress.com/2014/01/19/bahaya-politik-pencitraan/
· Blogspot.
(2009, 07 Juli). Media dan Politik Pencitraan. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://abubakarabdurrahman.blogspot.com/2009/07/media-dan-politik-pencitraan.html
· Wordpress.
(2010, 14 Februari). Demokrasi Era Kuantum. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://usepsaefurohman.wordpress.com/2010/02/14/demokrasi-era-kuantum/
· SMAN
11 Makassar. (2010, Oktober). Apa itu Narsisme?. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://www.sman11mks.com/index.php?option=com_kunena&func=view&catid=31&id=40143&Itemid=100042
· Harian
haluan. (2013, 15 Agustus). Narsisme Politik dan Racun Demokrasi. Diperoleh 02
Mei 2014, dari http://www.harianhaluan.com/index.php/opini/25518-narsisme-politik-dan-racun-demokrasi
·
Rima
News. (2013, 18 Desember). Mahfud MD – Dua Penyakit Demokrasi – Demagog dan
Narsisme. Diperoleh 02Mei 2014, dari http://www.rimanews.com/read/20131218/132304/mahfud-md-dua-penyakit-demokrasi-demagog-dan-narsisme
· Honda.
Pengertian Intimidasi. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://hondacbmodifikasi.com/pengertian-intimidasi/
· Blogspot.
(2011, 24 Juli). Intimidasi dalam Negara Kesatuan. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://hendrik-kadir.blogspot.com/2011/07/intimidasi-dalam-negara-kesatuan.html
· Writing
Contest Bisnis. (2014, 01 April). Demokrasi Berwajah Otoriter. Diperoleh 02 Mei
2014, dari http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/379/216758/demokrasi-berwajah-otoriter
· Blogspot.
(2012, 26 Juni). Politik Transaksional 26. Dperoleh 02 Mei 2014, dari http://muamarrizapahlevi.blogspot.com/2012/06/politik-transaksional_26.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar