Kamis, 15 Mei 2014

VIRUS - VIRUS DEMOKRASI

Nama : Nurilita Wiguna
Kelas : 2EA28
NPM : 15212500
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan #
Dosen : M. Ali, S.H.I, M.Ag.




VIRUS – VIRUS DEMOKRASI

I.       PENDAHULUAN

Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap Negara pasti memiliki demokrasi tersendiri, termasuk Indonesia yang dikenal menganut Demokrasi Pancasila. Bisa dibilang Indonesia adalah satu – satunya Negara di dunia yang menganut demokrasi Pancasila. Namun bukan berarti demokrasi dapat berjalan dengan mulus tanpa hambatan di setiap Negara. Pasti ada saja faktor – faktor yang dapat mengganggu berjalannya demokrasi. Berikut ini saya akan mencoba membahas faktor – faktor apa saja yang dapat mencederai demokrasi atau bisa disebut dengan Virus –Virus Demokrasi.


II.    PEMBAHASAN

Terdapat 5 virus demokrasi, diantaranya Banalitas politik, Politik Pencitraan, Narsisme Demokrasi, Intimidasi Suara, dan Politik Transaksional.

a.      Banalitas Politik

Banalitas politik (Banality of Politics) merupakan salah satu kejahatan politik seseorang atau kelompok yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan suatu posisi atau perkara. Banalitas politik juga bisa dibilang dengan ‘berpikiran yang dangkal’.
Banalitas politik yang diciptakan para politikus di Negara kita  telah menciptakan ruang – ruang publik politik yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal dan populer, yang tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Berbagai keputusan politik (pilihan politik, kebijakan politik, strategi politik) sangat dibentuk oleh sifat populerisme, sehingga menggiring ke arah ‘pengkerdilan politik’, yang kini menggan­tungkan hidupnya pada citra permukaan dan populerisme tokoh, kader atau partai politik.
Kasus-kasus hukum seperti korupsi, pencucian uang dan suap yang membawa beberapa politikus yang ditampilkan di berbagai media massa menunjukkan para politikus tidak mampu menjalankan politik bernilai tinggi dan bermartabat. Anehnya, mereka rajin  membuat  politik yang remeh tersebut.
Politik dinasti yang dinilai banyak kalangan telah mencederai prinsip demokrasi atau fenomena keterlibatan calon legislatif (caleg) dari kalangan artis yang kemampuan politiknya meragukan juga bisa dikatakan manisfestasi keremeh-temehan politik. Di sinilah bisa disaksikan pemimpin – pemimpin partai politik gagal menciptakan kader – kader berkualitas tinggi dari internal partai. Di sini pulalah bisa dilihat betapa popularitas artis dijadikan ‘mantra politik’ untuk mendulang suara rakyat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak praktik politik yang dijalankan politikus – politikus di negeri ini berlumuran intrik dan tipu daya. Sudah menjadi pengetahuan rakyat bahwa pemimpin partai politik sebagai “orang tua” seringkali melindungi sebagian kadernya yang terlibat kasus hukum, misalnya korupsi.

Semua banalitas politik tersebut jelas berpotensi besar merusak tataanan kebangsaan dan kenegaraan. “Politik biasa – biasa saja” sangat mungkin menyebabkan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, mengalami krisis kepercayaan dari rakyat. Masyarakat pun menganggap politik sebagai aktivitas tipu daya, berbohong atau curang. Kalau sudah begini keadaanya, kehancuran bangsalah yang akan terjadi.
Oleh karena itu, menjunjung tinggi moralitas dalam berpolitik tak bisa ditawar-tawar lagi. Menjamah kemerdekaan iman dan akal sehat dalam berpolitik harus dihindari sejauh mungkin. Citra buruk politik akibat perilaku tak bermoral politikus harus disegera dibenahi. Partai politik sebagai salah satu pilar negara demokrasi juga harus ikut mendukung penuh penghadiran nilai-nilai moral dalam menjalankan mesin-mesin politiknya.
Adalah suatu kewajiban bagi seorang politikus untuk tidak menciptakan ketegangan antara moralitas dan politik. Anggapan sebagian besar masyarakat bahwa politikus memiliki integritas moral yang rendah dan sering melakukan hal – hal buruk, termasuk berbohong, korupsi, suap, dan sebagainya, perlu menjadi perhatian utama elite – elite politik.
Ini mengandung makna bahwa para politikus harus benar – benar menjalankan tujuan, yaitu sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat dan menggapai kebaikan bersama. Jangan sampai politik terus – menerus mendapat citra buruk dari masyarkat karena kelakuan politikus yang tidak beradab dan banal.

b.      Politik Pencitraan
Politik pencitraan (Politics of Image) meupakan taktik politik dimana seseorang atau kelompok menganggap dirinya sangat baik dan lebih baik daripada orang lain, padahal sebenarnya bisa saja  seseorang tersebut tidak baik dan malah lebih buruk daripada orang lain.
Teknik ‘pemasaran politik’ dengan mengemas citra tentang sosok calon kepala daerah atau calon legislatif dalam praktek politik citraan, menempatkan media massa sebagai pemegang kendali utama pemberitaan, karena salah satu kekuatan media yang sangat diperhitungkan adalah kekuatan menciptakan opini publik. Lewat surat kabar misalnya,  menawarkan definisi – definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan, siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan); isu apa yang relevan dan tidak (Eriyanto, analisis Framing: X).

Narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.
Dalam dunia pencitraan, citra dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik menarik. Citra telah berubah menjadi sebuah mesin politis yang bergerak kian cepat. Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.
Citra politik dan simulakra politik akan menjadi kekuatan utama”dalam mengendalikan wacana politik sehingga di dalamnya kini tidak hanya ada kekuatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi menjelmanya kekuatan citra sebagai kekuatan politik. Dalam simulakra politik, segala potensi tanda, citra, dan tontonan, segala kekuatan bahasa, dan  kekuatan simbol dikerahkan dalam rangka membangun citra, membentuk opini publik, mengubah persepsi, mengendalikan kesadaran massa, dan mengarahkan preferensi politik meski semuanya tak lebih dari iring-iringan simulakra belaka.
Pergeseran praktik politik pencitraan dari upaya mempromosikan figur yang berkualitas kepada usaha merebut kekuasaan menimbulkan dampak etis yang dapat merugikan publik sendiri. Pertama, praktik semacam itu mengaburkan esensi politik, bahwa politik adalah panggilan, bahwa hanya orang – orang yang berkualitas secara manajerial dan etislah yang pantas memimpin republik ini. Kedua, kita melanggengkan hasrat primordial manusia untuk berkuasa dengan memanfaatkan segala cara demi merebut kekuasaan tersebut. Akibatnya, kita akan memiliki pemimpin yang terus bersolek dan hanya memperhatikan penampilannya saat jutaan masyarakat menderita kemiskinan dan ketidakadilan. Ketiga, kelaziman mengamini penampilan sebagai yang seolah – olah merepresentasikan kenyataan objektif sang pemimpin hanya akan menumpulkan kesadaran kritis kita untuk mengambil jarak demi melawan praktik – praktik kekuasaan yang korup dan tidak manusiawi.

c.       Narsisme Demokrasi
Narsisme merupakan sifat manusia yang cenderung mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Bagi mereka dengan karakter narsisme, memiliki rasa percaya diri yang luar biasa. Individu yang berkarakter narsisme memang selalu senang pada sesuatu yang berbau sanjungan dan pujian, mereka sangat independen dan sulit didekati. Mereka juga sangat terpacu oleh kekuasaan dan kesuksesan. Tetapi pribadi narsisisme adalah pribadi yang penuh ambisi dan visi.
Biasanya pribadi narsisme sulit menerima kritik dan tidak memiliki empathy terhadap orang lain serta bukan pendengar yang baik. Mereka juga cenderung membuat keputusan tanpa mempedulikan orang lain dan memaksa orang lain untuk mendengarkan ceritanya tanpa mau mendengar cerita orang lain. Mereka juga sulit berbagi dengan orang lain dan meminta orang lain untuk mengikuti jadwalnya.

Karena memang perilaku individu narsisme selalu terpusat pada diri sendiri (self centered). Ia merasa dialah yang superior, paling mampu, paling pandai, paling penting dan paling segalanya. Mereka akan sangat puas jika semua orang mengakui kehebatannya.
Demokrasi kini menjadi ‘demokrasi narsisistik’ (narcissistic democracy), yang di dalamnya para wakil rakyat disibukkan mengatur penampilan dan citra diri di depan publik dibandingkan   mengasah nalar memikirkan rakyat.
Sebagaimana dikatakan Christopher Lach di dalam The Culture of Narcissism (1979), para narsis politik membangun kemuliaan diri melalui selebriti, polularitas, dan karisma diri untuk memperoleh sanjungan atau pujaan pemirsa, bukan dari kekuatan pikiran, pengetahuan, dan kompetensi.
Akibat sifat narsis ini, berbagai tindakan, keputusan, dan strategi politik pun sangat dibentuk oleh sifat popularitas yang menggiring ke arah pendangkalan politik. Tokoh atau kader partai politik menggantungkan hidupnya pada citra permukaan. Hal-hal yang bersifat subtansial (ide, gagasan, perjuangan, pengorbanan, dan sebagainya) dilibas oleh sesuatu yang bersifat sensasional (iklan politik, gambar, foto, baliho, dan sejenisnya). Sifat narsis akan semakin terlihat manakala kita me­nyak­sikan pemimpin partai politik melirik para artis yang memiliki popularitas kaliber nasional di mata masyarakat untuk dijadikan sebagai kader partai atau calon legislatif.
Akibat lanjutan dari nar­sisme politik adalah “keseketi­kaan politik” yang hanya merayakan citra instan dan efek segera, tetapi tidak menghargai proses politik berkualitas dan bermakna. Aneka citra politik, misalnya jujur, cerdas, bersih, islamis, nasionalis, atau nasionalis-religius adalah citra yang seharusnya dibangun secara alami melalui akumulasi karya, pemikiran, tindakan, ide, dan prestasi politik. Namun, mentalitas “mene­rabas” telah mendorong tokoh politik menjadi miskin pres­tasi dan mengambil jalan pintas  dengan memanipulasi citra instan. Inilah dampak negatif ketika partai politik dan politisinya sudah menge­depankan narsisme politik. Kader partai mengeluarkan aneka trik, bujuk rayu, persu­asi, dan retorika komunikasi politik yang bertujuan meya­kinkan rakyat bahwa citra yang ditampilkan adalah kebenaran.
Sekali lagi, narsisme poli­tik, yang memiliki kecende­rungan pemujaan diri secara berlebihan, tidak akan mem­bawa tatanan politik yang luhur. Politik narsis hanya akan menciptakan kader partai berlagak dekat dengan petani, pembela wong cilik, akrab dengan pedagang pasar, karib dengan pemuka agama, penjaga kesatuan bangsa, pemberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan perilaku “seolah-olah” lainnya. Namun, semua itu hanya ilusi, palsu, dan bohong belaka.

d.      Intimidasi Suara

Intimidasi merupaka tindakan menakut – nakuti atau me­maksa dengan kekuatan dalam hubungan antara orang, antara kelompok, atau antara orang dan ke­lompok, dengan tujuan agar pihak yang ditakut – takuti atau dipaksa mau melakukan perbuatan yang diinginkan. Tindakan menakut-nakuti ini dapat berben-tuk ancaman fisik atau nonfisik. Dalam politik, bentuk ancamannya berupa non fisik, misalnya penyebaran isu yang menakutkan atau menimbulkan kekhawa­tiran.
Intimidasi suara itu pasti dikaitkan dengan perolehan hasil pemilu. Para partai penguasa menekan dengan kekuasaannya agar kader – kader dan partainya dapat memenangkan pemilu, baik pileg maupun pilpres.

e.       Politik Transaksional
Politik transaksional merupakan jual – beli politik. Dalam praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga, bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. Karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan ornag lain.
Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka transaksi – transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.

Namun ketika pembagian kekuasaan itu tidak dilakukan, maka transaksi politik bisa diwujudkan dalam hal lain. Misalnya kompensasi dalam bentuk uang. Inilah yang kadang disebut sebagai politik transaksional. Padahal pengertian sebenarnya, politik transaksional adalah pembagian kekuasaan politik berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik.

Bahwa dalam transaksi politik menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Dalam arti, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka uang yang digunakan itu merupakan bagian dari politik transaksi. Hal itu tidak bisa dihindari. Namun jika uang itu hanya digunakan untuk segelintir orang, hanya sekedar untuk mencapai syarat pencalonan saja. Seperti dalam Pilkada-Pilkada terdahulu, sangat kental dengan istilah politik transaksional, yang hanya sekedar alat untuk kepentingannya sendiri.


III.             PENUTUPAN

Dari kelima faktor diatas, sudah sangat jelas bahwa praktik – praktik tersebut tidak boleh dijalankan, malah ada juga yang bisa dipidanakan. Banalitas politik, Intimidasi Suara, dan Politik Transaksional merupakan sebuah kejahatan dan sudah dapat dipidanakan sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku. Sedangkan untuk Politik Pencitraan dan Narsisme politik belum bisa dikatakan sudah masuk ke ranah hukum Indonesia.


IV.             DAFTAR PUSTAKA

· Harian haluan. (2011, 13 Juli). Banalitas Para Politikus. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://harianhaluan.com/index.php/refleksi/6708-banalitas-politik-para-politikus
· AcehTribun News. (2013, 18 Juni). Banalitas di Era Reformasi. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://aceh.tribunnews.com/2013/06/18/banalitas-politik-di-era-reformasi
· Wordpress. (2014, 19 Januari). Bahaya Politik Pencitraan. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://jeremiasjena.wordpress.com/2014/01/19/bahaya-politik-pencitraan/
· Blogspot. (2009, 07 Juli). Media dan Politik Pencitraan. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://abubakarabdurrahman.blogspot.com/2009/07/media-dan-politik-pencitraan.html
· Wordpress. (2010, 14 Februari). Demokrasi Era Kuantum. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://usepsaefurohman.wordpress.com/2010/02/14/demokrasi-era-kuantum/
· SMAN 11 Makassar. (2010, Oktober). Apa itu Narsisme?. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://www.sman11mks.com/index.php?option=com_kunena&func=view&catid=31&id=40143&Itemid=100042
·     Harian haluan. (2013, 15 Agustus). Narsisme Politik dan Racun Demokrasi. Diperoleh 02 Mei 2014, dari  http://www.harianhaluan.com/index.php/opini/25518-narsisme-politik-dan-racun-demokrasi
·   Rima News. (2013, 18 Desember). Mahfud MD – Dua Penyakit Demokrasi – Demagog dan Narsisme. Diperoleh 02Mei 2014, dari http://www.rimanews.com/read/20131218/132304/mahfud-md-dua-penyakit-demokrasi-demagog-dan-narsisme
·  Honda. Pengertian Intimidasi. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://hondacbmodifikasi.com/pengertian-intimidasi/
·     Blogspot. (2011, 24 Juli). Intimidasi dalam Negara Kesatuan. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://hendrik-kadir.blogspot.com/2011/07/intimidasi-dalam-negara-kesatuan.html
·  Writing Contest Bisnis. (2014, 01 April). Demokrasi Berwajah Otoriter. Diperoleh 02 Mei 2014, dari http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/379/216758/demokrasi-berwajah-otoriter
· Blogspot. (2012, 26 Juni). Politik Transaksional 26. Dperoleh 02 Mei 2014, dari  http://muamarrizapahlevi.blogspot.com/2012/06/politik-transaksional_26.html

 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar